Guru merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan.
Guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaan kurikulum (Mulyasa, dalam Syaodih, 1998: 13). Menurut
Undang-undang Sisdiknas tentang guru No. 20 Tahun 2003 pasal 39 menyatakan
bahwa (1) guru merupakan tenaga kependidikan bertugas melaksanakan tugas
administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, (2) guru merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik
dan perguruan tinggi ( Mulyasa, 2008 : 197).
Selain guru sebagai perencana dan pengembang, ada berbagai
peranan yang harus dilakukan oleh guru diantaranya guru sebagai pendidik,
pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, innovator, model dan teladan,
pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pemindah kemah,
emansipator, dan guru sebagai pengawet. Semua peranan guru sangat penting dan
harus dimiliki serta dilakukan oleh guru. Guru dikatakan berhasil jika dia
mampu menjalankan perannya dengan baik.
Terlepas dari itu, terkadang guru secara tidak sadar
melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sebagai manusia
biasa, tentu saja guru tidak akan terlepas dari kesalahan baik dalam
berperilaku maupun dalam melaksanakan tugas pokoknya mengajar. Namun demikian,
bukan berarti kesalahn guru harus dibiarkan dan tidak dicarikan cara
pemecahannya. Guru harus mampu memahami kondisi-kondisi yang memungkinkan
dirinya berbuat salah, dan yang paling penting adalah mengendalikan diri serta
menghindari dari kesalahan-kesalahan.
Dari berbagai hasil kajian
menunjukan bahwa sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan oleh
guru dalam pembelajaran. Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam
pembelajaran, menunggu peserta didik berperilaku negatif, menggunakan
destruktif discipline, mengabaikan kebutuhan- kebutuhan khusus (perbedaan
individu) peserta didik,merasa diri paling pandai di kelasnya, tidak adil
(diskriminatif), serta memaksa hak peserta didik. Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Ada beberapa penyakit guru
yang sedang marak yakni Kusta (Kurang Strategi), Tbc (Tidak Banyak Cara), Kudis (Kurang Disiplin), Kram (Kurang Terampil), Lesu (Lemah Sumber), Wts (Wawasan Tidak Luas), Mual (Mutu Amat Lemah) dll
Walaupun guru dan pengajar
bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Perbedaan Guru Zaman Dahulu dan Sekarang
Banyak guru mengeluh karena tugas guru jaman
sekarang sangatlah banyak. Guru tidak hanya mengajar di depan siswa, tapi masih
harus memikirkan masalah administrasi yang sangat banyak seperti program
semester, RPP, dll. Selain itu masih ada juga tuntutan moral guru sebagai
seorang pendidik yang diharapkan mampu menanamkan nilai dan budi pekerti yang
baik ke anak-anak. Dengan tuntutan pekerjaan yang begitu banyak, ironisnya
penghargaan kepada profesi guru itu semakin berkurang.
Guru-guru
jaman dulu itu sangat dihormati, baik oleh murid-muridnya maupun oleh
masyarakat. Guru masih dianggap sebagai pekerjaan yang mulia dan terpandang.
Derajat guru dalam sosial masyarakat bahkan terkadang lebih ditinggikan
dibanding konglomerat di daerah itu. Begitupun dengan murid-murid. Setiap guru
datang selalu disambut murid dengan dan murid selalu mematuhi apa yang guru
perintah. Bandingkan dengan kondisi guru sekarang. Guru tidak ada bedanya
dengan pekerjaan lainnya, dan murid kurang hormat lagi kepada guru. Semakin
banyak anak yang kurang ajar dan membantah perkataan guru.
Dahulu,
ilmu pengetahuan belum berkembang sepesat sekarang. Guru sangat dihormati, pertama karena memang merekalah
satu-satunya sumber ilmu. Kalau tidak ada guru, mereka tidak bisa belajar.
Sekarang coba lihat, dari mana saja kita bisa belajar. Buku, televisi, laptop,
handphone, semuanya bisa jadi sumber belajar kita. Apalagi dengan filosofi
pendidikan sekarang yang harus kontekstual, maka belajar tidak hanya bisa
dilakukan disekolah. Jika memang demikian, bahkan bisa-bisa guru kalah dengan
muridnya. Banyak guru yang tidak bisa mengoperasikan laptop, jangankan mengoprasikan,
memegangnya saja takut. Jika sudah demikian, secara psikologis ketakutan murid
ke guru tidak lagi seperti dulu karena tanpa guru pun mereka masih bisa belajar.
Kedua, dengan mulai meleknya masyarakat akan HAM, banyak
guru yang takut berbuat kekerasan untuk mengontrol perilaku siswa. Jika dulu
rotan adalah sabahat guru, sekarang bahkan untuk memaki siswa dengan kata-kata
kasar saja guru sudah pikir-pikir. Jangan-jangan nanti ada orang tua yang tidak
terima dan dilaporkan ke polisi. Jika sudah demikian, ruang gerak guru semakin
terbatas, dan ketakutan siswa terhadap guru semakin berkurang, bahkan tidak
jarang guru yang lebih takut kepada siswa.
Thanks for reading & sharing Pelita Bangsa
0 comments:
Post a Comment